Ad Code

Responsive Advertisement

Exploring Breuh Island

Setelah mengunjungi Pulau Nasi di pertengahan tahun 2019 silam, Alhamdulillah Desember 2019 saya mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi satu lagi Pulau dari Pulo Aceh yaitu Pulo Breuh. Berbeda dengan perjalanan ke Pulau Nasi, perjalanan saya kali ini tidak hanya saya habiskan untuk liburan semata melainkan sekalian beramal dengan menjadi relawan sebagai pengajar bahasa Inggris untuk anak-anak di Pulo Breuh. Perjalanan singkat saya ini tak disangka-sangka membuat banyak sekali cerita menarik  yang sangat sayang sekali bila tidak diceritakan. So, keep reading!

Setelah gagal berangkat di bulan November akibat telat transfer uang kepada tim relawan yang membawa kami ke Pulo Breuh, aku dan temanku Fa memutuskan untuk tidak meminta ditransfer kembali uangnya agar tidak terulang lagi kesalahan yang sama untuk voluntrip sail ke 15 di Desember. Alhamdulillah, walau desas-desus akan ombak yang lagi besar di Desember ini sempat menjadi peringatan dari teman dan orang tua tapi kami tetap mantap untuk menyapa Pulo Breuh di akhir tahun 2019.

Sampailah di hari Jum'at dimana dijadwalkan bahwa kami akan berlayar di hamparan laut luas menuju Pulo Breuh. Pelabuhan di depan swalayan SM Raja Outlet Lampulo menjadi meeting point kami sebelum menaiki kapal. 


Kak Rita, panitia voluntrip, meminta kami untuk sudah berada di lokasi 13.30 sebelum nantinya berangkat di pukul 14.00 WIB. Saya yang kala itu meminta teman mengantar menuju pelabuhan merasa panik luar biasa karena sampai 13.20 seperti jadwal yang dia janjikan untuk telah tiba didepan rumah namun dia tak kunjung hadir di hadapan saya. Kegalauan antara tetap menunggu si teman atau memesan Gojek menjadi pilihan yang sangat berat dalam hidup saya kala itu. Tepat pukul 13.46 saya sudah bersepakat pada mas Gojek untuk segera menjemput saya dan disaat itu pula wajah teman saya yang baru pulang Jum'at itu terlihat. Pertemuan antara saya dan mas Gojek pun batal dan penderitaan teman saya pun di mulai. Ketidak tahuan akan posisi yang dituju, jarak yang jauh, motor si kawan yang ternyata harus diisi bensin dulu dan lampu lalulintas yang kompak memberikan warna merah menyalanya ditiap pertemuan membuat saya menumpahkan semua kepanikan saya kepada teman saya dengan tak henti hentinya mengomel sambil mengeluh bahwa saya pasti batal lagi berangkat. Dalam benak saya, saya yakini begitu saya tiba di lokasi saya akan disambut dengan tangan-tangan yang melambai dari dalam kapal yang secara arti lainnya mengisyaratkan saya untuk pulang kembali ke rumah. Namun itu tak terjadi, saya sudah duduk diantara panitia dan relawan yang sangat asing bagi saya. Mereka masih duduk dan menunggu relawan lain yang belum juga tiba. Lebih kurang 15 menit kemudian, anggota yang saya sangka membutuhkan jari-jari kaki untuk menghitung jumlah mereka sudah lengkap dan kami diminta menaiki mobil untuk diantar keujung pelabuhan yang entah dimana itu tapi pasti panitianya tahu. Ya... panitia memang tahu tapi satupun orang di mobil itu bukan panitia. Maka peribahasa pun harus diubah "Malu bertanya tidak ada panitia maka jalan-jalan." Kini kami semua sudah berada didepan kapal yang sudah berjalan jauh meninggalkan daratan. Lambaian tangan dan menelpon nahkoda yang kami usahakan  tidak membuat kapal itu kembali. Kecewa? Tentu saja.

Tentu saja dibalik kekecewaan ada hikmahnya, kami para relawan yang kala itu tidak saling kenal mulai saling berbicara dan pesan Grab bareng untuk kembali ke rumah kami yang searah dan bahkan berencana untuk ngeGrab bareng lagi menuju pelabuhan besoknya. Hikmah gagal berangkat membuat kami semua langsung akrab di hari Sabtu dan duduk sama-sama di belakang kapal untuk merasakan sensasi ombak besar di bulan Desember.


Perjalanan Banda Aceh menuju Pulo Breuh memakan waktu 2,5 jam, Ombak besar yang diming-imingkan akan menemui kami di 1/4 perjalanan membuat saya siap sedia dengan baju hujan yang sudah saya pakai selama di kapal.


Ombak besar mulai menggoyangkan kapal kecil kami. Fa mulai mabuk laut dan memutuskan untuk tidur, begitu juga dengan Mukhlis yang langsung rebahan di lantai kapal. Berbeda dengan penduduk Pulo Aceh mereka justru terlihat sangat santuy yang membuat saya marasa secure dan dalam hati berharap ombak yang datang lebih besar lagi biar ada air yang masuk dalam kapal biar saya tidak rugi sudah pakai jas hujan. Namun sayangnya itu tidak terjadi.

Dan akhirnya kami sampai di Pulo Breuh, Dari kejauhan saya melihat beberapa rumah penduduk, warung kopi dan mesjid. Seperti artis, panitia voluntrip langsung disapa ramah oleh para warga Pulo Aceh. Saya yang memiliki kemampuan bahasa Aceh ala kadar memutuskan tersenyum-senyum saja. 

Lokasi pertama yang kami tuju adalah rumah warga yang menjadi tempat penginapan kami para cewek-cewek dan tepat di sebelah rumah tersebut ada rumah kosong yang menjadi tempat penginapan buat panitia dan relawan yang laki-laki. Saya sangat salut sekali dengan sikap ramah memuliakan tamu dari para warga Pulo Breuh. Kedatangan kami kala itu ternyata kondisi sumur pemilik rumah sedang kering tapi mereka mengangkat beberapa ember air untuk tetap ada di dalam kamar mandi untuk kami dan bahkan tetangga-tetangganya sangat welcome untuk menampung kami untuk numpang mandi dan wudhu di kamar mandi rumah mereka. Tak lupa pula saya harus ceritakan bahwa jamuan makanan yang dihidangkan sangat enak apalagi nasi gorengnya. Pemilik rumah kami juga berjualan, satu piring mie indomie goreng mereka berharga Rp 7.000. So, jangan lupa bawa uang ketika kesini untuk mencicipi makanan mereka dengan karakter pedas yang bikin nagih. Setelah perut kenyang, kami pun menanti datangnya malam dengan menikmati senja di pelabuhan.


Di malam harinya setelah menyantap makan malam, kami mengadakan rapat mengenai prosedur mengajar bahasa Inggris anak Pulo Breuh di jam 2 di hari Minggu. Setelah selesai melihat bahan ajar, menyusun taktik mengajar dan mengeluarkan ide ice breaking, kami menghabiskan malam dengan bermain UNO. Di tengah permaianan, Fa menunjukan sebuah gambar lokasi yang ada di Pulo Breuh yaitu pegunungan di Gugop. Karena lokasinya yang tidak jauh, kami pun memutuskan untuk berangkat kesana di pagi harinya dengan berjalan kaki ditemani 2 pemuda Pulo Aceh, bang Daus dan bang Citra. 


Awalnya saya pikir kami akan melihat gunung saja tapi ternyata perjalanan menuju gunung tersebut membuat kami bertemu dengan pantai putih yang sangat indah, sungguh sangat cantik pantai itu. Aku heran kenapa tidak ada anak-anak yang bermain ke pantai secantik ini.

Kembali saya meneruskan perjalanan, kami menemui batu yang kata kak Rita adalah batu dari lombok, wah sayang dong kalo saya tidak berfoto.

Lanjut lagi berjalan, saya menemukan banyak sekali botol plastik air mineral yang designnya sangat asing bagi saya.


Setelah saya lihat lebih dekat ternyata itu adalah botol air mineral plastik dari Maldives, Switzerland, Malaysia yang ternyata terdampar di Pulo Breuh. 


Saya pun menemukan jawaban dari keterkejutan saya saat di kapal ketika saya bingung mau buang sampah kemana dan mereka bilang "buang saja ke laut", lalu ketika saya membeli minuman kaleng di toko CAP TUPAI dan saya bertanya dimana tong sampah dan beliau mengatakan bahwa tong sampah itu seluas Pulau ini dan masih banyak lagi. Mungkin kehadiran sampah luar negeri yang tidak diundang ini menjadi penyebabnya.

Sampailah kami di lokasi yang dituju, saya hampir saja mati terpeleset saat mendaki bukit tersebut. Dari atas saya bisa membayangkan betapa sakitnya bila jatuh dari bukit yang beralaskan batu-batu karang. Walaupunsaya sudah pucat pasi tapi sayang sekali bila tidak diabadikan.


Jam sudah menuju ke pukul 14.00 WIB sudah waktunya kami bertemu para anak-anak yang sudah tidak sabar untuk menerima pelajaran bahasa Inggris baru. Dengan sikap saya yang malu-malu, saya mencoba untuk membaur dengan mereka dengan mengajarkan mereka beberapa kosakata bahasa Inggris mengenaihal yang ada di sekitar tempat tinggal mereka seperti harbour, paddy field, coconut tree dengan bahasa pengantarnya bahasa Aceh.


Di sore harinya, kami kembali mengunjungi pantai indah tadi di bagian yang berbeda agar dapat melihat sunset dengan jelas. Namun sayang sunset tidak terlihat di sore itu namun pantai tersebut benar-benar sangat tak rugi untuk di kunjungi.


Langitpun mulai gelap, setelah dinner , kami kembali berkumpul untuk melakukan evaluasi dari proses belajar yang sudah kami jalankan. 


Saat itu adalah malam terakhir kami di Pulo Aceh, senang sekali bisa mengunjungi desa Gugop, berteu dengan warganya yang ramah,anak-anaknya yang semangat belajarnya tinggi dan yangtidak terlupakan adalah teman-teman relawan dan panitianya yang benar-benar cap tupai. Walupun pertemuan kita cuman 3 hari, semoga perkawanan kita terus terjalin, aminn.


Sedikit berbagi, menurut apa yang sudah saya dapatkan di Pelatihan bahasa dan kebeasiswaan atau dalam bahasa Inggrisnya Language Training for Academic Purpose Test (LTAPT) dari BPSDM Aceh, memiliki banyak pengalaman atau aktif dalam bidang kerelawaan akan sangat menarik scholarship provider untuk memilih kita sebagai awardee mereka apalagi bila kamu yang fresh graduate yang belum punya pengalaman atau tempat kerja yang bisa kamu tulis di CV atau essay kamu, ceritamu menjadi relawan akan sangat bagus untuk dituliskan. Selain karena itu semua, menjadi berguna dan bisa berbagi dan membantu orang lain melalui menjadi relawan adalah ladang pahala dan kebahagian yang hakiki yang bisa kamu dapatkan.

Nah, bagi kamu yang ingin menjadi relawan trus bisa voluntrip selama 3N2D (3 Nights 2 Days) dengan biaya Rp 150.000 sebagai uang akomodasi seperti saya di Pulo Breuh, kalian bisa langung kepoin Instagramnya the Floating School dan siap-siap mendaftar di voluntrip sail berikutnya. 


Nah, buat kamu yang mau lihat keseruan kami di Pulo Breuh. Watch this video!




Post a Comment

1 Comments

  1. Menarik sekali pengalaman anda....
    Semoga suatu saat saya bisa mengunjungi pulau tersebut

    NS-3011

    ReplyDelete

Close Menu